resensi novel angkatan ' 66
IDENTITAS NOVEL
Judul : Pada sebuah Kapal
Karangan : NH. Dini
Cetakan : Kedua, Tahun 1988
Tebal : 350 halaman
A. Sinopsis novel “Pada Sebuah Kapal”
Sri dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat menyenangi seni. Ayahnya
adalah seorang pelukis. Sejak kecil, dia dimasukkan ke sekolah tari. Sri adalah
anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka hidup dengan rukun di sebuah desa
kecil yang terdapat di Semarang.
Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dan setelah selesai sekolah
menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang terdapat di
kotanya.selama tiga tahun menjadi penyiar radio, ia mulai merasa jenuh dengan
pekerjaannya. Sri mencoba mengikuti pendidikan pramugari yang ada di kota
tersebut dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji di Jakarta. Tapi sayang,
ia tidak lulus menjadi pramugari disebabkan adanya penyakit yang terdapat di
dalam paru – parunya. Setelah berobat, Sri harus istirahat selama tiga bulan
dan ia memilih sebuah desa di Salatiga untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setelah sembuh, Sri mencoba untuk hidup di Jakarta walaupun tidak menjadi
pramugari. Ia yakin dengan bakat yang dimilikinya ia dapat hidup di Jakarta. Ia
tinggal di rumah pamannya yang sebelumnya ditempati oleh kakaknya, Sutopo yang
telah lebih dulu ke Jakarta. Kini Sutopo telah mempunyai rumah di Jakarta.
Di Jakarta ia bekerja sebagai penyiar radio dan penari untuk acara – acara
istana. Di gedung latihan itu, Sri menyukai seorang laki – laki. Namanya Basir.
Tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain, Yus sangat mencintainya
dan ingin menikah dengannya. Tapi Sri tidak begitu menyukai Yus, karena
komunis. Selain itu ada Narti, teman kecil Sri waktu sekolah dasar yang
sekarang menjadi pramugari. Narti sering main ke rumah paman Sri untuk
mengunjunginya. Narti memperkenalkan kedua teman yang bekerja di angkatan udara
kepada Sri, mereka bernama Saputro dan Mokar.
Pertemanan Sri dan Suparto awalnya biasa – biasa saja. Seperti biasanya, sikap
Saputro sangat lembut dan perhatian. Dari sikapnya itu, Sri mulai jatuh hati
dengan sosok Saputro. Kedekatan antara Sri dengan Saputro semakin dekat setelah
mereka bertemu di acara Malam Kesenian Kongres Pemuda se-Asia. Dari pertemuan
itulah, keduanya yakin kalau mereka saling mencintai. Saputro memiliki jadwal
penerbangan yang tidak menentu sehingga kedatangannya tidak dapat diperkirakan
oleh Sri. Setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia, mereka
memutuskan untuk tunangan dan segera menikah. Setelah kembali dari
Cekoslovakia, Saputro menemui Sri dan memberikan sebuah cincin sebagai tanda
pengikat diantara mereka. Malam itu pun mereka habiskan bersama.
Seperti biasanya Saputro harus melakukan penerbangan dengan jadwal yang tidak
dapat dipastikan. Walaupun jarak yang jauh, mereka telah menyiapkan segala
sesuatu untuk pernikahan. Tapi kebahagiaan yang sebentar lagi akan diraih oleh
Sri harus bergantikan air mata, karena Saputro tewas saat penerbangan dari
Bandung menuju Jakarta karena cuaca yang buruk.
Kabar ini sangat melukai hati Sri. Dia seperti tidak memiliki semangat hidup,
dan dia memutuskan untuk menenangkan diri. Dalam kesedihannya, Carl selalu
menghibur Sri. Carl adalah teman Sutopo yang sebenarnya dia juga mencintai Sri.
Namun ada satu hal yang tidak disukai Sri dari Carl, dia terlalu sombong dengan
kekayaan yang dimiliki olehnya walaupun sikapnya baik terhadap Sri.
Sepuluh bulan setelah wafatnya Sutopo, Sri memutuskan akan menikah dengan
Charles yang berkebangsaan Perancis. Charles adalah seorang diplomat yang
sangat tertarik dengan kebudayaan. Keputusannya untuk menikah dengan Charles
ditentang oleh keluarga, terutama Sutopo. Kakaknya itu tidak setuju kalau Sri
menikah dengan Charles. Sutopo yakin Sri tidak akan bahagia menikah dengan
Charles karena Sri belum begitu mengenal Charles. Namun Sri tidak peduli dengan
nasehat keluarga. Ia tetap menikah dengan Charles dan kewarganegaraannya
menjadi Perancis. Setelah menikah, mereka bermukim di Kobe, Jepang. Kehidupan
rumah tangga Sri tidak bahagia, Charles yang pada awalnya baik, perhatian
sebelum menikah, kini berubah menjadi seorang yang pemarah, pelit, dan suka
membentak – bentak. Sri yang sejak awal tidak mencintai Charles, menjadi semakin
benci karena sikap yang ditunjukan Charles. Dari Charles, Sri melahirkan
seorang anak perempuan.
Pada kesempatan liburan, Charles mengajak anak dan istrinya untuk melakukan
perjalanan ke beberapa Negara. Setelah dari Indonesia, mereka berangkat ke
Saigon. Di sana Charles Menyuruh kepada istrinya untuk melakukan perjalanan
dengan kapal. Sementara dirinya akan mengunjungi beberapa Negara yang akan
dikunjunginya. Sri tidak keberatan melakukan perjalanan dengan kapal berdua
dengan anaknya yang masih berumur dua tahun. Karena dia tidak pernah
mengharapkan suaminya yang pemarah itu. Hanya kewajibanlah yang mengikat Sri
untuk setia terhadap suaminya.
Perjalanan dari Saigon menuju Marseille membutuhkan waktu yang lumayan lama,
sekitar tiga bulan. Di kapal itulah Sri bertemu dengan Michel, seorang komandan
kapal yang juga kecewa dengan istrinya. Sejak pertama melihatnya, Sri sudah
tertarik karena sikapnya dan pada beberapa kesempatan, mereka bertemu. hubungan
antara Sri dengan Michel semakin dekat setelah acara pesta dansa. Sejak itu
mereka sering bertemu dan cinta pun tumbuh diantara mereka berdua. Awalnya Sri
berpikir untuk selalu setia terhadap suaminya yang tidak pernah dicintainya,
tapi Sri juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Dia sangat mencintai
Michel, dan Michel pun demikian. Sosok Michel mengingatkan Sri pada cintanya
yang telah hilang. Selama perjalanan itulah dia menemukan kebahagiaan yang
selama ini tidak pernah dirasakan olehnya.
Setelah sampai di Marseille, Charles sudah menunggunya dan Sri pun harus
berpisah dengan kekasihnya Michel. Setelah pekerjaan suaminya selesai, mereka
kembali ke Kobe. Kehidupan Sri berjalan seperti biasanya. Setelah sekian lama
tidak bertemu, akhirnya Michel mengabarkanakan lewat telegram bahwa dia akan ke
Yokohama. Sri sangat gembira mendengar kabar ini. Akhirnya Michel dan Sri
bertemu, mereka saling mencintai dan pada kesempatan – kesempatan yang jarang
itu mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sri dan Michel menyadari akan
keterikatan mereka terhadap pernikahan yang mereka jalani dengan pasangan
masing – masing. Namun keadaan itu tidak menghalangi cinta keduanya. Sri sadar
akan kehidupan Michel, dan dia akan selalu mencintai Michel.
B. Unsur Intrinsik novel “Pada Sebuah Kapal”
1. Tema
Perselingkuhan yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan
ketegaran dalam menghadapi semua masalah yang dihadapi dalam hidup.
2. Latar atau Setting
a. Semarang
b. Jakarta
c. Kobe, Jepang
d. Kapal
e. Perancis
f. Yokohama
3. Alur atau Plot
a. Tahapan Permulaan
Sri dibesarkan dalam keluarga yang kental dengan darah seniman. Dia adalah anak
bungsu dari lima bersaudara. Seperti kakak – kakaknya, dia dimasukkan ke
sekolah tari oleh ayahnya. Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal.
Setelah selesai dari sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio
yang ada di kotanya, Semarang. Tiga tahun menjadi penyiar radio, Sri mulai
merasa jenuh. Dia mencoba mengikuti pendidikan pramugari dan akhirnya mendapat
kesempatan untuk diuji di Jakarta. Sri mengikuti berbagai macam tes. Hasil tes
dapat diketahui beberapa bulan kemudian. Berdasarkan hasil tes yang diterima,
Sri mengidap penyakit paru – paru, sehingga dia tidak diterima menjadi
pramugari. Sri melakukan pengobatan dan istirahat total dari pekerjaannya
selama dua bulan. Dia memilih tinggal di Salatiga untuk menyembuhkan lubang
yang terdapat di paru – parunya. Setelah sembuh, Sri memutuskan pergi ke
Jakarta. Dia tinggal di rumah pamannya yang dulu ditempati Sutopo, kakaknya
yang telah lebih dulu ke Jakarta. Sekarang Sutopo memiliki rumah sendiri di
Jakarta.
b. Tahapan Pertikaian
Selain bekerja sebagai penyiar radio, Sri menjadi penari untuk menari di istana
pada perayaan – perayaan tertentu. Rekan – rekan kerjanya, sebagian tidak
menyukai Sri, namun Sri tetap sopan terhadap mereka dan bersabar menghadapi
semuanya. Di Jakarta, Sri bertemu dengan teman kecilnya waktu sekolah dasar,
namanya Narti. Sekarang Narti bekerja sebagai pramugari. Dia sering menemui Sri
untuk sekedar makan atau nonton film. Dari Narti, Sri mengenal Mokar dan
Saputro yang merupakan pilot angkatan udara. Selain itu, Carl seorang warga
negara asing, kawan Sutopo, dan Charles yang berkebangsaan Perancis yang sangat
tertarik dengan kebudayaan. Setelah beberapa lama tinggal di Jakarta, Ibu Sri
meninggal.
c. Tahapan Perumitan
Sri bertemu lagi dengan Saputro pada Malam Kesenian Pemuda se- Asia. Pada saat
itu Sri merasakan ada yang berbeda dalam dirinya, begitu melihat sikap Saputro
yang seperti mencintanya. Padahal sebelum – sebelumnya mereka sering pergi bersama
tapi bersama Narti dan Mokar. Sejak malam itu, keduanya semakin dekat dan
menjalin kasih. Setelah merasa cukup, mereka memutuskan akan tunangan dan
segera menikah setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia.
Namun impian yang telah dirancang itu harus terkubur dalam – dalam, karena
Saputro tewas saat penerbangan Bandung – Jakarta. Hati Sri hancur mendengar
kabar buruk itu, Sri tenggelam dalam kesedihan. Di saat yang sulit – sulit itu,
Carl selalu menghibur Sri, karena dari awal dia juga sudah menyukai Sri. Namun
Sri menolak cinta Carl. Setelah sepuluh bulan kematian tunangannya, Sri
memutuskan untuk menikah dengan Charles. Walaupun sebenarnya, dia idak
mencintai Charles. Keputusan Sri untuk menikah dengan Charles tidak disetujui
oleh keluarga, terutama kakaknya. Sutopo yakin kalau adiknya tidak akan bahagia
jika menikah dengan Charles, karena Sri belum terlalu mengenal Charles dengan
baik. Namun Sri keras kepala, Dia tetap menikah dengan Charles
d. Tahapan Puncak (
klimaks)
Setelah menikah dengan Charles, kewarganegaraan Sri berubah menjadi Perancis
mengikuti suaminya. Mereka menetap di Kobe-Japang. Pernikahan Sri dengan
Charles tidak bahagia, walaupun Charles selalu bilang mencintainya. Setelah
menikah, sikap Charles berubah. Charles tidak lagi seperti yang dikenal Sri
sebelum menikah. Sekarang Charles suka marah – marah dan membentak Sri. Sikap
ini membuat Sri semakin membenci Charles. Dari Charles, Sri melahirkan anak
perempuan. Saat umur anaknya dua tahun, Charles mengajak istrinya berkunjung ke
beberapa Negara. Setelah satu bulan berada di Indonesia, mereka terbang ke
Saigon. Disana Charles meminta istri dan anaknya untuk melakukan perjalanan
dengan kapal, sedangkan dirinya akan mengunjungi Negara – Negara yang ingin
dikunjunginya.di kapal itulah Sri menemukan kebahagiaan yang selama ini telah
hilang.
Dalam perjalanan dari Saigon menuju Marseille, Sri bertemu dengan seorang
komandan kapal bernama Michel Dubanton. Sikap yang ditunjukkannya membuat Sri
jatuh hati pada komandan tersebut. Dalam beberapa kesempatan, mereka bertemu
dan mulai mengenal satu sama lain. Sri yang tidak bahagia dengan pernikahannya
dengan Charles, dan Michel yang kecewa dengan istrinya Nicole, mencoba mencari
kebahagiaan di luar pernikahannya. Perjalanan dari Saigon menuju Marseille
merupakan hal ang sangat membahagiakan bagi Sri, walaupun dia tahu menghianati
suaminya merupakan suatu kesalahan, tapi dia tidak menyesalinya.
e. Tahapan Peleraian
Setelah perjalanan berakhir, Sri dan Michel harus berpisah. Sri sangat sedih,
dia menangis karena perpisahan mengingatkan dirinya akan seseorang yang telah
meninggalkannya. Setelah urusan suaminya selesai, mereka kembali ke Kobe.
Kehidupan Sri kembali seperti semula rumah tangganya dilalui dengan
pertengkaran – pertengkaran. Sampai – sampai Sri memutuskan meminta cerai
kepada suaminya dengan alasan sudah tidak mencintainya lagi. Tapi Charles
menolak dengan alasan anak. Setelah beberapa lama tidak bertemu, Michel
mengabarkan akan ke Yokohama dan kesempatan itu tidak disia – siakan oleh
mereka.
f. Tahapan Akhir
Sri menyadari bahwa dia dan Michel terikat oleh pasangan masing – masing.
Apalagi Michel adalah seorang pelaut ang sering jauh darikeluarga, di pasti
sering bertemu dengan perempuan – perempuan dari berbagai negara yang mungkin
saja menarik hatinya. Walaupun Michel harus mengkhianati cintanya, tapi Sri
akan selalu mencintai Michel.
4. Sudut Pandang
Orang pertama. Karena dalam cerita, pengarang bertindak sebagai tokoh utama.
5. Penokohan
a. Sri : penuh semangat, tegar, keras kepala, sabar.
b. Michel : sabar, penyayang.
c. Saputro : sabar, penyayang.
d. Charles : pemarah, pelit, egois.
e. Sutopo : perhatian, suka menasehati.
f. Carl : baik hati, sedikit sombong.
6. Gaya Penulisan
Novel “Pada Sebuah Kapal” tidak jauh berbeda dengan novel – novel karya NH.
Dini yang lainnya. Namun novel ini bukan merupakan kisah nyata yang dialami NH.
Dini, walaupun menggunakan sudut pandang orang pertama dan seting tempat serta
tokoh – tokoh yang diceritakan di dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan
NH. Dini. Dalam penulisannya, banyak terdapat gaya bahasa seperti
personifikasi, hiperbola, dan simile.
7. Amanat
Manusia harus selalu sabar dalam menghdapi semua masalah kehidupan, harus mau
menerima nasihat dari orang – orang terdekat, dan harus bertanggung jawab
dengan langkah yang telah diambil.
Kutipan novel “Pada
Sebuah Kapal”
*****
Malam itu aku seperti menandatangani suatu perjanjian. Waktu aku mengawininya,
aku tahu bahwa aku tidak mencintainya. Tetapi aku berkata kepada diriku sendiri
untuk mencintainya, aku kawin dengan dia karena aku suka padanya, dan karena
aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda – pemuda di negeriku menganggap
seorang wanita yang telah kehilngan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah.
Aku tahu bahwa kawan – kawan Saputro mengetahui hubungan kami. Sebentar Nyoman
nampak semakin mendekatiku. Beberapa kali dia membayangkan perhatiannya
terhadapku. Tetapi aku tidak mau merubah rencana hidupnya. Apalagi karena aku
tahu bahwa dia merasa tersiksa oleh kematian kawannya itu. Seolah
tanggungjawabnyalah untuk memberiku kehidupan yang telah ku idamkan bersama
Saputro. Mungkin Nyoman benar – benar mencintaiku. Tapi apakah arti perkataan
“mungkin” bagiku sedangkan di lain pihak aku tahu benar bahwa Charles tidak
dapat menunggu keputusanku untuk berangkat ke Jepang. Dan itulah sebabnya aku
kawin dengan dia. Dia tidak kaya seperti Carl. Tapi darinya aku lebih berani
mengharapkan kesetiaan daripada Carl. ( halaman 123)
Kadang – kadang aku berpikir apakah yang ku dapat dari perkawinan? Ataukah itu
disebabkan oleh perkawinan campuran? Ataukah itu disebabkan oleh nasibku?
Benarkah seperti kata Sutopo bahwa aku tidak cukup mengenal orang yang ku
kawin? Tapi aku telah membacai surat – suratnya. Kini aku mengerti bahwa
pikiran orang di surat sama sekali tidak bisa ditandai sebagai cerminan watak.
Dan apakah sebenarnya yang ku ketahui dari Charles sebelum perkawinan?
Pikiranku terlalu kalut ketika aku sadar bahwa Saputro meninggal dan tetap
meninggal untuk tidak akan muncul kembali. ( halaman 124)
Anakku hampir berumur dua tahun. Dinas suamiku di negeri ini belum selesai.
Tetapi dia diperbolehkan mengambil libur panjang, karena dia akan tinggal di
tempat yang sama selama dua tahun lagi yang berarti setahun lebih lama daripada
waktu dinas yang biasa. Rencananya amat berliku – liku. Kami akan bersama –
sama menuju Indonesia dan tinggal di sana selama satu bulan. Dari sana kami ke
Saigon, di mana Charles akan melepaskan kami, anakku dan aku, dengan sebuah
kapal. Dia akan meneruskan perjalanan dengan pesawat terbang, melalui kota –
kota di India yang telah lama ingin dikunjunginya. ( halaman 147)
Aku tidak berkeberatan mengadakan perjalanan seorang diri. Tetapi cara suamiku
melepaskan kami hanya untuk bersenang – senang, ini tidak ku setujui. Beberapa
kawan orang Perancis berkata bahwa tidak seharusnya membiarkan suamiku leluasa
seorang diri. Aku dengan tenang menjawab bahwa aku mempercayai Charles. Yang
mengkhawatirkanku hanyalah kemungkinan ada kecelakaan, akan garis nasib yang
tidak bias kita ketahui. Tiba – tiba aku menjadi cemas akan hal ini. Dengan
ragu – ragu aku mengatakannya kepada Charles.
“ Kau terpengaruh oleh omongan orang – orang Perancis itu.”
Tidak, tentu saja ini tidak benar. Tetapi aku berpikir seketika bahwa Charles
akan tersinggung kalau mengetahui bahwa orang – orang itu bias mempengaruhiku,
lebih daripada dia sendiri bisa menyuapkan pendapatnya kepdaku.
“Mereka memberiku pikiran untuk ku pertimbangkan. Aku memutuskan bahwa kau
lebih baik tidak mengadakan perjalanan ke India kali ini. Kita akan ke sana
bersama – sama.”
“Bersama – sama? Dengan anak kita? Kau akan membawanya di bawah panas terik
matahari ke tempat – tempat yang liar semacam itu? Tidak!” katanya dengan
tegas. “Aku akan berangkat sendiri.”
“Dia akan berumur tiga bulan lebih tua kalau kita kembali dari Eropa. Kita akan
lebih leluasa mengajaknya kemana – mana.”
“Aku akan lebih leluasa bepergian sendiri,” katanya memutuskan bicaraku. (
halaman 147)
Dengan sedih aku memandang ke luar. Aku tidak pernah lagi memandangi wajahnya .
bagiku segala yang membikinku sakit terkumpul di sana.
“Aku sudah memutuskan untuk pergi seorang diri, dan akan tetap terjadi
demikian,” katanya lagi.
“Aku juga mempunyai keputusan,” kataku perlahan. “Kalau terjadi apa – apa
dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau bersusah
payah langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir dari kau. Dia akan
ku berikan pada sebuah rumah penitipan anak – anak. Aku tidak mau membawanya
bersamaku.”
Sebentar dia tidak bersuara seolah tidak mengerti apa maksudku.
“Bagaimana?” akhirnya dia bertanya.
“Kalau kau mati dalam perjalanan itu, anak kita akan ku masukkan ke rumah
sosial.”
“Kau tidak bersungguh – sungguh. Kau gila!” serunya. Matanya melotot menatapku.
“Aku mengatakan apa yang ku pikir.”
“Aku tidak percaya!” dan dia memaksa merendahkan suaranya.
“Kau seorang ibu, hanya dari kaulah anakmu akan mendapatkan cinta yang
sebenarnya. Aku tidak percaya.”
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Bagiku anakku merupakan penghambat yang
besar kalau aku harus bekrja mencari nafkah di Eropa. Aku bukan lagi warga
negara Indonesia dan aku tidak mau kembali ke negeriku untuk bekerja. Aku akan
memilih negeriku yang kedua. Kau selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa
mengerjakan sesuatu pun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan
membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana
orang – orang di sana.”
Dengan keheranan dia memandang kepadaku. Seolah mengukur tubuhku, melihat
seekor binatang mengerikan yang baru kali itu dilihatnya. Tiba – tiba dia
terduduk, menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Tidak, aku tidak percaya. Perempuan apakah yang telah ku kawini ini?” setengah
berbisik aku mendengar kata – katanya. ( halaman 148)
Sikapnya yang cengeng itu menggelikanku.
“Aku juga berpikir laki – laki apakah yang telah ku kawini ini? Dia terlalu
lama bersendiri, terlalu mau memerintah, dan selalu mau menang sendiri!” kataku
dengan suara ejekan yang tidak bias ku tahan lagi. “Aku mau supaya kita benar –
benar memikirkan perceraian kali ini. Sesampai di Eropa aku akan tinggal
sendiri. Kau bawa anakmu kalau kau mau, aku tidak membutuhkannya.”
Dan ku tinggalkan dia dengan segala pemikirannya kalau memang dia mau
memikirkan sedikit mengenai hal kami berdu. Aku sudah terlalu kenyang akan
sikapnya yang serba mau senang sendiri. Laki – laki itu bagiku tidak lain
hanyalah sebuah onggokan daging yang sama sekali tidak menarik mataku. (
halaman 149)
Rencananya tetap. Aku amat jarang berbicara dengan dia. Setelah tinggal satu
bulan di negeriku, kami terbang ke Saigon. Anakku dan aku mengambil kapal yang
menuju ke Perancis. Dan Charles mencium keningku untuk perpisahan.
“Aku akan berusaha sampai di Marseille untuk menjemputmu,” katanya.
Sebetulnya aku tidak perlu menjawab . tetapi kebutuhan untuk menyakiti hatinya
mendorongku untuk mengatakan sesuatu.
“Seperti kau mau. Tanpa kau kami juga bias turun dari kapal dan sampai di
tempat yang kami tuju.”
“Mengapa kau menjadi sejahat ini?” tanyanya.
Aku mencibirkan bibir dengan tiada sadar
“Ka tau benar aku tidak akan bepergian dengan perempuan lain, tidak akan
menemui perempuan lain di India.”
Oh, jadi dia mengiraku cemburu!
“Aku tidak peduli apa yang kau kerjakan. Kau mau tidur dengan siapa pun, itu
bukan lagi urusanku.”
Dia tertegun seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku menghindarinya. (
halaman 149)
Runtutan waktu – waktuku ku atur sebaik – baiknya. Pagi – pagi ku bawa anakku
ke mamar bermain. Kemudian aku kembali ke kabin untuk mengerjakan cucian atau
menggosok pakaian di ruang seterikaan yang ada di bagian belakang kapal.
Sesudah itu aku biasanya duduk – duduk di geladak membaca buku, bercakap –
cakap dengan penumpang lain, dengan Marianne, Tuan Haller yang semakin hari
menjadi semakin perhatian, bermain kartu dengan Nyonya Bucler atau menulis
surat. ( halaman 156)
Aku mendapat beberapa orang kawan yang baik pada hari ketiga di kapal.
Penumpang – penumpang kulit putih kebanyakan berjemur di bawah panas matahari
untuk mendapatkan warna kecoklatan seperti kulitku. Ini menjadi tontonan yang
paling ku senangi. Tidak hentinya mereka mengejekku karena aku takut akan
menjadi hitam. Kalau berjalan di ata geladak, aku mencari tempat – tempat yang
lindung. Dengan serta merta mereka tertawa dan menarik – narikku ke bagian yang
kena panas. ( halaman 156)
Keesokan harinya kapal sampai di Kolombo. Marianne dan keluarganya turun.
Sebagian besar penumpang mencatatkan diri untuk menyertai tamasya yang diadakan
oleh perusahaan kapal. Mereka mengunjungi pulau Sri Lanka, dan akan kembali ke
pelabuhan keesokan harinya. Aku tidak turut dengan mereka, karena tidak ada
yang menjaga anakku. ( halaman 163)
Pada malam hari ku lihat ruang makan lengang. Di sudut sebelah kiri hanya ada
dua orang. Sedangkan di sebelah kana nada seorang wanita tua bangsa Swedia, dan
aku seorang diri di mejaku. Nyonya Bucler juga telah turun untuk kemudia
menemui anaknya di Kalkuta. Tuan Haller mengikuti rombongan tamasya. Di tengah
ruang ku lihat keempat perwira lengkap. Komandan Muret tidak kelihatan. Aku
biasa makan sendirian. Tetapi di kapal, itu adalah kali yang pertama. ( halaman
164)
Sesudah makan, aku menerima ajakan Nyonya bangsa Swedia untuk minum kopi
bersama – sama. Percakapan dengan dia tidak mudah karena dia hanya mengerti
bahasa inggris dan perancis sedikit – sedikit. Aku mengambil air sereh karena
malam hari aku tidak suka minum kopi. Sebentar – sebentar mataku tidak dapat
tertahan melayang ke meja panjang dimana di dekatnya terletak bar kapal. Dia
bersama perwira – perwira lain minum kopi di sana. Setelah cangkirku kosong,
aku mengucapkan selamat malam kepada kawan semejaku, lalu menuju ke salon untuk
membaca buku sambil mendengarkan musik. Ku pilih tempat dudukku yang biasa, di
sudut dari mana aku bisa melihat ke luar, jauh dari pintu masuk. Selintas – selintas
ku lirik bayangan celana dan sepatu putih yang hilir mudik dari sebelah kaca.
Perwira – perwira kapal sedang melakukan olah raga gerak jalan sesudah makan
malam. ( halaman 164 )
Sementara aku tenggelam ke dalam cerita bukuku, ku dengar pintu terbuka suara:
“Seluruh kapal ini milik Anda, Nyonya.”
Aku menegakkan kepala. Ku lihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
“Mengapa?” hanya itulah yang dapat ku ucapkan.
“Karena Nyonya adalah satu – satunya penumpang sekarang.”
“Tadi ada lain – lainnya di kamar makan.”
“Mereka baru turun ke kota.”
Kami berpandangan seperti dua orang yang saling mengenal sejak berpuluh tahun;
tanpa kekenesan, tanpa rabaan, baru kali itulah aku melihatnya baik – baik dari
dekat. Dadaku tiba – tiba memanas.
“Apa yang anda baca?” katanya, dan diambilnya buku dari pangkuanku, lalu duduk
di sampingku.
“Anda gemar sekali membaca,” nada suaranya tidak bertanya.
“Gemar sekali,” jawabku.
“Saya lihat Anda selalu menyendiri di pojok dengan sebuah buku.”
Aku menegakkan kepala untuk benar – benar menatapnya.
“Anda mengetahui benar kebiasaan saya.”
“Semuanya,” katanya, pada mukanya terbayang kegembiraannya karena dapat
mengejutkanku. “Anda sering bersama – sama dengan seorang Nyonya yang berkulit
cokelat. Dia turun di sini saya kira.”
“Ya, tadi pagi dia sudah turun.”
Sekali lagi ku perhatikan kepuasan perasaannya.
“Satu hal lagi. Anda adalah satu – satunya penumpang yang pernah menari dengan
baik di kapal ini.”
Aku tersenyum. Kami bersama – sama tersenyum sambil berpandangan; wajahnya,
matanya. Rambutnya kelam seperti malam, tersembunyi di bawah topi kerjanya.
Kami kemudian berbicara mengenai buku – buku, musik, dan apa saja yabg singgah
di pikiran pada waktu itu. Dia mengajakku naik ke kamarnya untuk mengambil buku
yang telah dibacanya, yang dikiranya aku akan menyukainya. Kamarnya seperti
kamar perwira – perwira lainnya terbagi dua bagian: kamar kerja dan kamar
tidur. Aku duduk di kursi kamar kerjanya sebentar, lalu kami kembali turun ke
salon.
“Anda juga mengikuti siaran – siaran musik klasik pada sore hari?” dia
bertanya.
“Selalu.”
“Kalau anda mau melihat – lihat bagian bawah, besok pagi sesudah jam sepuluh
saya antar.”
Aku berterima kasih atas janjinya. Lalu kami berpisah. Aku kembali ke kamarku.
Hatiku dipenuhi rasa bahagia dan kerinduan yang berkecamuk tidak menentu. Aku
mencintainya, bisikku seorang diri. Setiap ku tatap matanya, ku lihat ada sinar
yang menyala dan menghanguskan seluruh kesadaranku. ( halaman 165)
Sehabis makan malam aku ke salon. Aku tahu dia akan datang, dan pengetahuan ini
membikinku semakin tak sabar menantikannya. Dan sewaktu dia mengajakku naik ke
tempatnya untuk mengambil buku lain, aku tahu bahwa aku seharusnya tidak
menyetujuinya. Tetapi aku naik ke kamarnya. Ku lihat dia mengunci pintu dengan
ketenangan yang kekal. Dia meletakkan kunci tersebut di depanku dan menatap
wajahku. Untuk kesekian kalinya kami berpandangan. Dan begitulah. ( halaman
173)
“Aku telah mengkhianati suamiku,” seperti membutuhkan pengakuan, aku berkata
perlahan.
“Ini yang pertama kalinya?”
Aku mengangguk.
“Kau menyesal?”
Benarkah aku menyesal? Aku tidak menyesalinya. Kebahagiaan yang baru ku kecap
bersamanya belum pernah ku rasakan. Seolah baru sekali itulah aku benar – benar
mengenal kedalaman arti hidup antara laki – laki dan perempuan.
“Aku tidak mengetahui namamu?” kataku kemudian. ( halaman 174)
Kami berpandangan, seolah hendak menerobos isi hati masing – masing.
“Kau lihat namaku di daftar penumpang. Panggillah aku Michel.
“Michel,” ulangku setengah berbisik.
“Dan kau, kau adalah penariku.”
Aku hendak menyebutkan namaku, tetapi dia meneruskan bicaranya.
“Ketika ku lihat kau menari, aku seperti seperti melihat sebuah boneka dalam
mimpiku. Jauh sekali, tetapi terang dan keemasan. Aku boleh menyebutmu bonekaku
yang mungil bukan?”
Aku tersenyum. Aku bahagia. ( halaman 175)
Di Marseille, Charles menunggu kami. Ketika dia secara kesopanan hendak mencium
pipiku di geladak, aku hampir memalingkan mukaku. Yang ku temui adalah seorang
laki – laki yang semakin menggendut perutnya. Keringatnya tajam berbau besi
tua. Tangannya selalu bertengger dengan pongahnya di pinggang. Kalau berbicara
jarinya mengacung ke depan hampir menyentuh hidungku. Aku dengan kecut
mengundurkan diri satu atau dua langkah sambil menoleh untuk menyembunyikan
rasa muak. ( halaman 181)
*****
BIOGRAFI PENGARANG
NH. Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah tamat SMA
bagian sastra ( 1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta ( 1956),
dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah ( 1957). Tahun 1957-1960
bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut
– turut Ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980
menetap di Jakarta dan Semarang.
Karyanya : La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan (1977),
Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang rumah (1979), Langit
dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang
(1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris ( 1982), Segi dan Garis (1983), dan
Orang – orang Tran (1985). Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Camus, La
Peste, 1985).